Berita Terkini

Covid-19 dan Diplomasi Diatas Meja Para Pemangku Kepentingan

FOTO. Suryani Mappe

Oleh Mahasiswa Pasca Sarjana Paramadina Graduate School of Diplomacy

“Saving Life or Saving Economy”

Jakarta — Aktivis Perempuan Suryani Mampe, yang adalah Mahasiswa Pasca Sarjana di Paramadina Graduate School of Diplomacy, mengkritisi kebijakan pemerintah pusat dibawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo. Pasalnya, kebijkan pemerintah Indonesia dalam menangani wabah mematikan ini alisa virus corona (Covid-19) masih setengah hati.

Buktinya hingga kini, penyakit menular dan mematikan itu, terus bereaksi dan pasien positif makin bertambah di Indonesia.

“Ditengah mewabahnya virus, yang telah ditetapkan oleh WHO sebagai pandemic Corona Virus Disease (Covid-19). Kita justru dibingungkan dengan kebijakan pemerintah Indonesia, setelah pengumuman kasus pertama oleh Presiden Joko Widodo pada tanggal 2 Maret 2020, yang menggemparkan publik,” sebut manta Ketua Umum HMI Cabang Tondano ini.

“Karena, terkesan mendadak. Sebelumnya pemerintah Indonesia melalui Menteri kesehatan dengan optimis dan gagap menyebutkan, bahwa Virus Corona belum masuk ke Indonesia. Beredar pula, berbagai asumsi public bahwa Indonesia sebagai negara tropis akan kebal terhadap COVID-19. Karena virus ini tidak bisa bertahan di suhu yang panas. Pada kenyataannya hingga hari ini, sekitar 1 bulan setelah pengumuman kasus pertama, jumlah pasien terus mengalami peningkatan. Mengutip data dari covid19.go.id tanggal 7 April 2020 tercatat pasien positif di Indonesia telah mencapai 2.738 kasus dengan angka kematian mencapai 221 orang dan sembuh 204 orang. Dengan kasus terbanyak di ibu kota DKI Jakarta,” bebernya. Selasa (07/04/2020).

Lebih lanjut dikatakakan perempuan berdarah Bugis ini, sebagai penyakit menular. Virus Corona yang mematikan ini, bukan hanya mengancam keselamatan jiwa rakyat Indonesia. Bahkan bisa mengancam keselamatan kehidupan umat manusia di dunia.

“Dunia kedokteran dipacu untuk lebih inovatif menemukan peralatan vaksin dan obat-obatan untuk menghadapi ancaman virus ini. Bukan hanya dunia kedokteran, tapi juga menjadi ujian ketegasan komitmen pemerintah untuk selalu menjaga kedaulatan bangsa dan negara. Menghindari segala bentuk konspirasi, baik nasional maupun global dengan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Harapan besar dalam menghadapi sebuah pandemic seperti ini, agar tidak mementingkan persoalan menang atau kalah diatas meja diplomasi. Tetapi perjuangan menjaga peradaban manusia tanpa eksploitasi manusia terhadap manusia,” imbuhnya.

Meski begitu, jebolan Universitas Negeri Manado ini, mengapresiasi para perjuangan Covid-19. Dalam hal ini, para tenaga medis sebagai garda terdepan dalam penanganan kasus ini. Dengan segala keterbatasan, tapi mereka menjadi barisan paling depan dengan konsekuensi terburuk mempertaruhkan nyawa.

“Sejak awal, yang paling dikeluhkan oleh para tenaga medis adalah kurangnya Alat Pelindung Diri (ADP), tenaga medis pun akhirnya banyak yang tumbang, mulai yang dinyatakan positif hingga meninggal dunia. Mungkin ini, dampak dari lamban dan kurang tegasnya pemerintah Indonesia dalam mengambil keputusan.
Hingga saat ini, yang menjadi sorotan adalah kebijakan Pemerintah Indonesia,” apresiasinya kepada tegas medis, sambari menyindir kebijakan pemerintah.

Sosok yang dikenal kritis ini juga mengungkapkan, sudah sebulan lebih pandemic ini berada di Indonesia. Namun belum ada satu keputusan yang menjadi satu langkah kongkrit, yang akan diambil oleh pemerintah. Sehingga, tragedi kemanusiaan akibat COVID-19 di Indonesia tidak menentu ujung penyelesaiannya.

“Penderita pun terus bertambah sebagai dampak lambannya para pihak terkait, dalam mengantisipasi wabah Covid-19. Pemerintah sebagai pemangku kebijakan, harus adu cepat dalam penanganan  dengan kerja virus. Ada konsekuensi dibalik setiap keputusan, bukan berarti kita tidak bisa mengambil keputusan. Tapi seberapa berani kita menghadapi konsekuensi dari keputusan yang kita ambil,” tegasnya.

Ia mengutip Kumparan.com, Agus Pambagio selaku pemerhati kebijakan public yang mengatakan, ‘Semakin lama memutuskan, semakin panjang waktu penyelesaian COVID-19’.

“Dalam penanganan COVID-19, keterbukaan adalah langkah yang sangat baik untuk mengatasi pandemi yang begitu menakutkan. Sekali lagi pemerintah harus menunjukkan pada dunia bahwa kebijakannya menangani COVID-19 menggunakan pendekatan humanis, bukan ekonomi. Dunia ingin mengetahui langkah dan strategi pemerintah Indonesia menghadapi COVID-19. Sembuhkan dulu penderita COVID-19, investor dan wisatawan asing pasti akan datang. Percayalah,” kutipnya.

Menurutnya lagi, sudah seharusnya pemerintah menjunjung nilai kemanusiaan dan berkonsentrasi terhadap perlawanan Covid-19 ini. Sebaiknya, pemerintah tidak terkonsentrasi hanya mengurusi sektor ekonomi saja karena kondisi dunia memang sedang resesi berat.

“Dalam pengambilan keputusan, pemerintah Indonesia harusnya belajar dari kesuksesan negara-negara yang sudah terdampak terlebih dahulu. Misalnya, Cina sebagai negara pertama yang mengkonfirmasi kasus pertama di dunia, yang langsung melakukan karantina wilayah terhadap provinsi yang terdampak yaitu Provinsi Wuhan. Alhasil, hanya provinsi itu saja yang terdampak. Setelah berhasil menangani pandemic ini, perlahan Wuhan mulai bangkit dengan sokongan provinsi lain yang tidak ikut terdampak. Berbeda dengan Italia, karena kurang tegasnya pemerintah dan public yang kurang patuh, maka penanganan Covid-19 di Italia kurang berhasil,” jelasnya.

Dia juga mengukapkan, kata-kata inspirasi dari cuitan twitter Presiden Ghana Akufo-Addo dengan tegas ia berkata, ‘we know how to bring the economy back to life. What we do not know is how to bring people back to life’ (Kami tahu bagaimana menghidupkan kembali perekonomian, yang kami tidak tahu adalah bagaimana menghidupkan kembali orang meninggal). Kurang lebih seperti itu, ketegasan yang dilontarkan Presiden Ghana.

“Meski kasus positif corona di Ghana masih terhitung sangat rendah dibanding Indonesia. Tercatat kasus positif corona 137 orang dan 4 orang meninggal dunia, namun Ghana dengan tegas langsung mengambil langkah lockdown. Sangat kontradiksi dengan kebijakan pemerintah Indonesia, dengan berbagai isu kebijakan yang bagi saya tidak ada hubungannya dengan corona,” katanya.

Dia mencontohkan, pelonggaran angsuran kredit kendaraan 1 tahun, subsidi selisih bunga dan uang muka KPR. Dan yang paling terbaru kebijakan membebaskan narapidana dengan alasan mencegah penyebaran covid-19 dalam rumah tahanan.

“Bagi saya, kebijakan ini kurang tepat sebagai upaya pencegahan penyebaran covid-19.
Menteri Hukum dan HAM Yassona Laoly memutuskan akan mengeluarkan sebagian narapidana, dari penjara untuk mencegah penyebaran COVID-19 di dalam penjara. Ketentuan tersebut diatur dalam Keputusan Menteri Hukum dan HAM bernomor : M.HH-19.PK/01.04.04 Tahun 2020 tentang pengeluaran dan pembebasan narapidana dan anak melalui asimilasi, dan integrase dalam rangkah pencegahan dan penanggulangan penyebaran COVID-19 pada 30 Maret 2020,” urainya.

“Mungkin saya tidak begitu paham dengan hukum. Tapi bagi saya, bukankah lebih aman ketika mereka berada didalam lapas ? mengapa bukan pengunjung saja yang di batasi. Agar mereka tidak berinteraksi dengan orang luar lapas yang kemungkinan punya potensi membawa virus,” kunci mahasiswa pasca sarjana di Paramadina Graduate School of Diplomacy.

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button